Makam Panembahan Kalibening

Makam Panembahan Kalibening atau lebih dikenal dengan makam Mbah Kalibening terletak di lereng Gunung Sokalima, Grumbul Kalibening, Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Makam Panembahan Kalibening yang terletak di perbukitan Sokalima ini berjarak sekitar 600 meter dari tepian Kali Serayu. Makam Panembahan Kalibening berada 5 km dari Alun-alun Banyumas, arah ke Barat atau sekitar 300 meter dari Makam R. Joko Kaiman.

Sebuah makam yang ditandai dengan sepasang gapura berbentuk tugu yang menurut penjaga makam tugu ini dibuat pada 1926 dan 1929 oleh juru kunci generasi yang ke empat yang bernama Mbah Kalibesari.

Pendapa
Di dalam kompleks makam terdapat sebuah pendapa tradisional yang berada tepat di depan Museum Kalibening, sebuah pendapa dengan empat saka guru dan pilar-pilar penunjang. Pada blandar terdapat tulisan berbunyi “Keblat papat gapuraning praja”, yang artinya kiblat empat gapuranya negri. Rumah pendapa yang biasanya digunakan oleh para peziarah sebagai tempat beristirahat.

Panembahan Mbah Kalibening menjadi tempat wisata ziarah yang kerap dikunjungi peziarah dari Banyumas dan sekitarnya, terutama pada hari-hari tertentu seperti malam Jum’at dan Malam Selasa Kliwon.

Sumur Pasucen
Selain gapura dan pendapa, di dalam kompleks makam juga terdapat sumur pasucen. Sumur pasucen digunakan untuk mensucikan diri para peziarah yang hendak berziarah ke makam Mbah Kalibening. Pada batu yang terletak dekat dengan sumur terdapat tulisan yang berbunyi “Rampoengipoen damel Soemoer Pasoetjen 1918″, atau artinya selesainya pembuatan Sumur Pasucen pada 1918.

Sumur Pasucen airnya terus melimpah walaupun pada musim kemarau yang panjang. Air sumur yang sangat jernih dan terasa sejuk di tangan dan muka. Menurut penjaga makam ada dua mata air di sumur yang kedalamannya sekitar empat meter ini. Konon bagi yang meyakini air sumur ini bisa membuat awet muda dan banyak rejeki.

Legenda Makam Panembahan Kalibening
Dari cerita yang ada dan dituturkan secara turun-temurun, menerangkan bahwa area makam Mbah Kalibening merupakan sebuah padepokan yang didirikan oleh seorang tokoh Islam dari tanah seberang. Beliau Syekh Abdullah Faqih atau lebih dikenal dengan Eyang Kalibening. Kedatangannya tidak lain untuk menyiarkan ajaran Islam.

Cerita lain yang menyertai keberadaan Mbah Kalibening adalah saat kemarau panjang yang berujung pada bencana kekeringan. Konon menurut cerita ketika Kalibening masih menjadi bagian Kadipaten Selarong, wilayah itu tertimpa musim kemarau berkepanjangan. Resi Ajar Pamungkas yang waskita lalu meminta Adipati Galagumba (Glagah Amba) untuk bertapa di Gunung Slamet, dan saat itulah sang adipati menerima bisikan halus bahwa seseorang akan datang untuk menolong.

Tak lama kemudian datang Kaligajati atau Ki Langlanggati. Melihat penderitaan rakyat, ia menancapkan pusakanya di alun-alun Selarong. Saat dicabut, turunlah hujan. Ki Langlanggati lalu tinggal di Dawuhan, dan karena sulit air, ia tancapkan pusaka hingga muncul air bening. Ki Langlanggati kemudian dikenal sebagai Panembahan Kalibening.

Selain makam Mbah Kalibening di area tersebut juga terdapat tiga makam yang lokasinya tidak berjauhan dengan makam Mbah Kalibening. Salah satunya yaitu makam Mbah Putri (Arum Retno) yang konon merupakan istri Mbah Kalibening. Makam Mbah Putri letaknya di sebelah kiri makam Mbah Kalibening. Lalu makam Mbah Gelagahamba yaitu seorang pengikut Mbah Kalibening yang konon merupakan satu-satunya orang kepercayaan yang ditugaskan untuk membuka hutan sewaktu akan mendirikan padepokan. Dan makam Mbah Amral yang letak di sebelah kanan makam Mbah Kalibening.

Ritual Jamasan Pusaka
Tradisi jamasan pusaka di Kalibening rutin diselenggarakan sehari setelah Maulid Nabi. Ritual jamasan pusaka dimulai dari pendapa museum lalu dibawa ke Sumur Pasucen untuk dilakukan pencucian, sumur tersebut berada dikomplek makam Eyang Kalibening. Setelah semua pusaka selesai disucikan, kemudian dibawa ke cungkup makam Eyang Kalibening untuk didoakan oleh juru kunci makam sebelum dikembalikan ke museum.
kalibening
Konon dalam tradisi ini selalu ada fenomena yang terjadi, berupa berkurang atau bertambahnya pusaka yang tersimpan di museum. Fenomena ini juga menjadi petunjuk tentang kejadian alam yang akan dilalui pada setahun kedepan khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas. Tentunya bagi mereka yang masih memercayainya, dan hal inilah yang menjadi perhatian para pengunjung.
Advertisement

Baca juga:

Blogger
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar

Silahkan berikan komentar Anda !